Blog

21 Mei adalah Akhir dari Kekuasaan 32 Tahun : Lengsernya Soeharto

21 Mei adalah Akhir dari Kekuasaan 32 Tahun : Lengsernya Soeharto

21 Mei adalah Akhir dari Kekuasaan 32 Tahun : Lengsernya Soeharto

 

Hari Peringatan Reformasi jatuh pada 21 Mei, tanggal Presiden kedua Indonesia, Soeharto mengundurkan diri. Reformasi menandai tumbangnya kekuasaan Orde Baru Soeharto yang menjabat sebagai Presiden RI selama 32 tahun.

Mundurnya Seoharto dipicu berbagai macam peristiwa, krisis moneter, penculikan aktivis, tragedi Trisakti, dan kerusuhan Mei yang mendorong ribuan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi di gedung DPR/MPR Senayan. Hingga pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI. Jabatan Presiden RI kemudian diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habbibie.

Sejarah Hari Peringatan Reformasi 21 Mei

Sebelum Soeharto mengundurkan diri, banyak peristiwa mencekam yang mendahuluinya. Berawal dari 1 Mei 1998, ketika Soeharto menyatakan bahwa reformasi bisa dilakukan setelah 2003. Soeharto diberi mandat MPR untuk menyelesaikan krisis moneter yang berujung pada krisis kepercayaan. Presiden RI ke-2 itu menuding adanya anasir PKI di balik kekacauan negeri seperti demo besar akhir-akhir ini, termasuk dari partai-partai lain yang telah dilarang.

Dilansir Amnesty, demonstrasi menuntut reformasi dilakukan sejak awal Mei oleh ratusan mahasiswa Bali yang tergabung dalam aktivis HMI cabang Denpasar. Di Medan, kerusuhan massal pecah. Ketika para mahasiswa berunjuk rasa di kampus-kampus, ribuan warga tiba-tiba turun ke jalan, merusak, membakar, dan menjarah toko-toko dan gudang-gudang penyimpanan barang. Aksi pengrusakan dan pembakaran di Medan masih berlangsung dan meluas. Setelah tiga hari, aksi lanjutan semakin mengarah ke sentimen rasial hingga mendorong pengungsian besar-besaran para warga keturunan Cina. Orang-orang Cina meninggalkan rumah atau ruko ke luar kota dan menginap di Hotel Danau Toba yang sudah dijaga ketat petugas.

Pada 12 Mei 1998, 4 mahasiswa Universitas Trisaksti meninggal dunia setelah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menuntut reformasi. Puluhan lainnya terluka terkena pukulan dan peluru. Aksi mahasiswa Trisakti dan Gunadarma diikuti sekitar 10 ribu orang dan mulanya berlangsung damai. Sebagian mahasiswa membujuk aparat untuk mengizinkan pergi ke Gedung DPR namun ditolak. Sejak kerusuhan meletus pada Rabu (13/5/1998), suasana Jakarta mencekam. Kawasan pertokoan tutup di mana-mana.

Dalam kerusuhan tersebut, anak-anak, remaja, pelajar, orang dewasa, dan juga ibu rumah tangga menjarah barang di toko, supermarket, dan pusat-pusat perbelanjaan. Kerusuhan masih terjadi hingga keesokan hari, 15 Mei 1998. Setidaknya 273 orang tewas terpanggang api di dua pusat perbelanjaan yang dijarah dan dibakar massa, yakni Sentra Plaza Klender Jakarta Timur dan Ciledug Plaza Tangerang. Selama tiga hari kerusuhan di Jakarta, korban tewas mencapai 499 orang. Polisi telah menangkap sekitar 1.000 perusuh. Sementara di daerah lain, situasinya masih memanas. Juru bicara ABRI Wahab Mokodongan mengungkapkan permintaan maaf terkait semua situasi kacau yang telah terjadi. Pada 17 Mei 1998, kehidupan sehari-hari berangsur pulih.

Para pemilik toko di Semarang, yang beberapa hari terakhir menutup toko karena takut terjadi kerusuhan, mulai membuka toko mereka. Di Surabaya, yang sempat terjadi amuk massa di sejumlah tempat, kegiatan perniagaan sudah mulai pulih dan berjalan normal.

Sejumlah spanduk yang bertuliskan “pro reformasi” mulai bertebaran di mana-mana. Esok harinya, para mahasiswa mulai menduduki gedung DPR/MPR. Komplek kantor wakil rakyat ini diwarnai sorak-sorai ribuan mahasiswa, puluhan cendekiawan, dan beberapa pensiunan jenderal. Mereka semua menuntut reformasi dan mendesak presiden untuk menyampaikan pertanggungjawaban dan mengundurkan diri dari jabatannya.

Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi masih menduduki gedung DPR/MPR sampai malam hari pada 19 Mei 1998. Mereka mengancam tidak akan pulang sebelum ada kepastian pelaksanaan Sidang Istimewa. Selain menuntut Soeharto mundur, mereka juga meminta anggota dewan tidak meninggalkan gedung agar Sidang Istimewa bisa dilakukan secepatnya. Tiap jalan keluar diblokir mahasiswa. Setiap pengendara yang lewat diminta menunjukkan kartu identitas.

Soeharto Mundur pada 21 Mei 1998

Pada hari-hari jelang Soeharto mundur, belasan menterinya sudah terlebih dulu mengundurkan diri. Soeharto tampak merasa dirinya dipermalukan di hadapan seluruh bangsa Indonesia dan dunia internasional. Peristiwa bersejarah ini disiarkan berulang-ulang di televisi. Selesai Soeharto menyatakan diri berhenti jadi Presiden RI, protokol istana menyerahkan map kepada Habibie dan diminta membacakan sumpah dan kewajibannya sebagai Presiden RI.

“Semuanya berlangsung cepat dan lancar. Pak Harto memberi salam kepada semua yang hadir termasuk saya. Tanpa senyum maupun sepatah kata, ia [lalu] meninggalkan ruang upacara,” tutur Habibie dalam memoarnya (hlm. 67). Seoharto lalu meninggalkan istana dengan didampingi putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana. Ia tidak naik mobil sedan yang biasa digunakannya, namun menaiki mobil jip bermerek Mercedes-Benz dan pulang ke rumahnya di Jalan Cendana. Ia pun kembali jadi orang biasa dan menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang tetap kaya di tengah tuntutan-tuntutan hukum atas dirinya.

Itulah serangkaian peristiwa pada tanggal 21 Mei dimana presiden kedua Iindonesia melakuakan pengunduran diri dari jabatannya.